Atlet Indonesia Harus Memiliki Pendidikan Yang Baik

dari kiri ke kanan: Grace (moderator), Edgar (atlet wushu), Lukman Niode (Pengurus KONI Pusat), Taufan (akademisi), Rosi Amir (atlet ski air)

Geraksport.com – Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat dan London School Public Relation (LSPR) telah tanda tangani kerja sama. Keduanya melakukan kerja sama dalam menyediakan pendidikan bagi atlet. Nantinya, atlet berprestasi mendapatkan beasiswa untuk kuliah di LSPR.

Ketua Umum KONI Pusat Letjen TNI (Purn) Marciano Norman memberikan sambutan pada kegiatan yang diselenggarakan pada 27 Januari 2020. Marciano tekankan pentingnya pendidikan kepada para atlet. “Atlet memang dapatkan bonus besar namun jika tidak dibekali ilmu maka akan habis begitu saja.”, sebutnya.

Setelah Ketua Umum KONI Pusat sampaikan sambutan, kegiatan berikutnya adalah diskusi publik. Pada diskusi yang berjudul “Elevating The Full Potential of Indonesia Athletes Through Education”, beberapa pembicara hadir.

KONI Pusat mengutus anggotanya yang merupakan mantan atlet renang berprestasi yakni Lukman Niode. Tuan rumah LSPR mengutus akademisi, Taufan. Dua atlet berprestasi juga hadir menjadi pembicara yakni atlet wushu Edgar Xavier Marvelo dan juga Rosi Amir, atlet ski air yang juga alumni LSPR.

Pembicara pertama, Lukman Niode sampaikan konsekuensi dalam menjadi atlet. “Butuh pengorbanan menjadi atlet, setelah kuliah langsung latihan”, tegasnya. Menurutnya ketika menekuni pendidikan sekaligus menjadi atlet butuh mengorbankan waktu untuk rekreasi.

Selain pengorbanan, manajemen waktu yang baik menjadi penting bagi atlet yang mengejar prestasi dan pendidikan sekaligus. Pendidikan sendiri harus ditempuh sebagai suatu keharusan karena komunikasi untuk branding dirinya sendiri sangat diperlukan seperti dalam hadapi wawancara.

Tak lupa Lukman bantah anggapan pemerintah tidak peduli dengan atlet. “Atlet masa depannya nyata, dapat PNS, pendidikan dan tabungan.”, ujarnya. Ia pun mengingatkan bahwa Indonesia pernah menjadi juara Asia yang disegani pada 1970-an.

Rosi Amir yang merupakan alumni LSPR membenarkan pentingnya manajemen waktu yang baik dan pengorbanan diperlukan. PNS Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) ini sampaikan keunggulan kuliah di LSPR yang bisa disesuaikan dengan jadwalnya.

Dahulu, Rosi kuliah di pagi hari, baru selelahnya latihan sejak siang hingga malam. “Jalan-jalan sama teman dikorbankan, prioritas ke latihan dan belajar.”, ujarnya.

Pembicara selanjutnya, Edgar juga sampaikan pendapat yang senada. “Sekolah dari Jam 7 pagi sampai 4 sore, langsung berangkat latihan ke Bogor dari jam 6 sampai 10 malam. Dari kecil hingga lulus SMA.”, jelasnya.

Edgar sempat bingung memilih pendidikan atau atlet namun akhirnya ia memilih atlet sebagai prioritas. “Karena atlet ada umunya, belajar bisa kapan saja.”, tegas atlet wushu tersebut.

Taufan memberikan solusi bagi rutinitas atlet yang ingin menempuh pendidikan. “Dulu diharapkan dua opsi, sekarang ada jalan tengah.”, terangnya. “E-Learning menjadi solusi untuk capai keduanya, jam kuliah ikuti kebutuhan atlet.”, lanjutnya.

Senada dengan Lukma, menurutnya pendidikan suatu keharusan bagi atlet. “Ketika atlet anti klimaks karena usianya selesai, pendidikan dapat jadi alat pancing agar atlet mandiri.”, terangnya. Taufan contohkan Susi Susanti dan Alan Budikusuma yang akhirnya memiliki perusahaan perlengkapan olahraga. Adapun beberapa atlet yang juga sukses pasca pensiun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *