Selamat Jalan Mas tpk selamat Jalan Pace Carol

M. Nigara
Wartawan Olahraga Senior

MINGGU ini, dunia olahraga nasional kehilangan dua orang senior yang sangat luar biasa. Satu wartawan Olahraga Kompas Mas tpk (Totok Purwanto) dan Carol Renwarin, petinju dan pelatih nasional asal Papua. Kepergiannya menjadi pengingat khususnya bagi saya sebagai pribadi, bahwa perjalanan akhir makin dekat.

Tpk, memang tak banyak tokoh olahraga yang mengenalnya. Jebolan koran Suara Karya ini memang termasuk sebagai wartawan pendiam. Cabor yang ditugaskan oleh Redaktur olahraga Valens Goa Doi, juga bukan cabor yang atraktif.

“Saya saja,” kata Mas TPK ketika ditanya siapa yang paling cocok untuk meliput cabor Catur dan Bridge.
Tapi jangan keliru. Hingga hari ini tidak ada satu pun wartawan atau kolomnis catur yang mampu menuliskan catur begitu luar biasa. Mas Tpk, membawa kita seolah-seolah sedang berada di abad pertengahan. Kita diajak melihat perang antara Yunani dan Romawi.

Saat Garry Kasparov, Bobby Fischer, dan Anatoly Karpov saling bertarung. Formasi Hoplites dan Phalanx dari Yunani melawan Formasi Testudo (Romawi). Formasi bulat dengan perisai di depan, samping, serta atas kepala. Begitu dahsyatnya.


Carol si Rambut Perak

Keras dan tegas. Itu ciri paling menonjol dari seorang Carol Renwarin. Tapi, saat Pertina untuk pertama kali menunjuknya menjadi pelatih tim nasional, banyak orang bertanya-tanya. Sama seperti ketika Khairus Sahel yang dipercaya menangani Elly Pical.

Maklum, meski Carol mantan juara nasional kelas terbang amatir, tapi secara kasat mata ia bukan tergolong petinju yang namanya sering menghiasi surat kabar. “Saya malas kalau ditanya-tanya wartawan, ” katanya saat itu.

Terkait keraguan orang, Carol yang sejak masih menjadi petinju sudah tidak miliki rasa takut itu, hanya ingin membuktikan. “Kau tunggu saja!” tukasnya.

Ya, Carol yang kemudian menjadi sangat dekat dengan saya, memang tergolong orang unik. Dia tidak ingin muncul ke permukaan. “Tugas saya hanya melatih. Mereka (para wartawan) boleh melihat dan mengikutinya, itu cukup!” lanjutnya.

Sebagai sahabat, Carol tak sungkan menelpon saya dan memberikan masukkan terkait penampilan saya sebagai komentator tinju di tv sejak 1994. Carol juga tak ragu memberi masukan soal strategi, gaya, teknik, dan lain-lain. “Kalau bisa brother jangan masuk ke wacana tekhnik, tapi non-tekhnik aja,” begitu salah satu kritik dan masukkannya untuk saya.

Lama tak jumpa, terakhir sebelum kami bertemu lagi di Merauke 2019, Carol pernah datang ke kantor saya di PPK-GBK, jika tak keliru 2009. “Bisa gak pintu 6 itu jadi permanen milik tinju?” tanyanya.

Pintu 6 adalah markas Pertina sejak 1962, selepas Asian Games ke-IV di Jakarta. Bung Karno yang menugaskan pada Sultan Hamengkubuwono IX, selaku Ketua KONI/KOI, dan Ketua Dewan Pengawas Gelora Bung Karno. Kebetulan 2009-2012, saya bertugas sebagai direktur PPU (semacam operasional), dan Carol perlu penjelasan itu.

Carol dan banyak petinju nasional termasuk Irjen Pol, Johni Asadoma, Kadiv Hubinter Polri, saat remaja, besar di Pintu 6. Sayang Carol sendiri sesungguhnya tahu jawaban atas pertanyaan itu. Tidak sampai di sana, sejak Asian Games ke-18, di Jakarta Pertina, dan semua cabor yang puluhan tahun mendiami sektor-sektor tertentu, tergusur dari PPK-GBK. Pengelola PPK-GBK, pasti tidak salah, tapi sistem yang ada membuatnya jadi sulit.

Desember 2019 – Februari 2020 adalah saat-saat kami jumpa. Saat saya ditugaskan oleh Menpora, Zainudin Amali ikut mendampingi Menko PMK, Muhadjir Effendy ke Merauke dalam rangka persiapan PON, kami jumpa di airport. Rambut Carol yang oleh sahabat saya Wailan Walalangi, mantan petenis penyumbang emas Asian Games 1982, New Delhi, disapa Pace, seluruh rambutnya berkilau seperti perak.

“Hei adeek!” sapanya pada saya dengan akrab. “Akhirnya impian saya Papua menjadi tuan rumah PON, terlaksana!” katanya begitu bersemangat.

Kami pun berpelukan. Ya, rambut pace memang seperti perak. Begitu lebat seperti saat pertama saya jumpa dan bergaul dengannya. “Saya bersyukur tidak rontok”, katanya sambil tertawa.

Di Jayapura, kami makan di pinggir danau. Sekali lagi dia ‘melucu’: “Ayo Adeeek kita makan ikan. Ini kita satu kali mati, enak banget, ” ujarnya sambil tertawa. “Kalau di Jawa, ikan yang kita makan berkali-kali mati!” katanya lagi disambut tawa bahkan oleh Menko PMK.

Maksud Carol, ikan yang disuguhkan itu adalah ikan yang baru saja diambil dari danau. Sementara yang di Jawa ikan diambil dari danau atau laut, sudah mati saat dibawa ke darat, lalu, mati lagi masuk pendingin, dan saat tiba di restoran juga tidak langsung diolah, tapi disimpan lagi.

Sayang, Carol, harus berpulang, Sabtu (24/10/2020), dinihari 02:02. Apa yang selama ini menjadi impiannya melihat Papya, tanah leluhurnya menggelar PON, tak kesampaian. Carol yang telah berusia 67 tahun tak kuasa menghadapi komplikasi penyakit gula, tekanan darah, dan koresterol.
Selamat jalan para senior, selamat jalan para sahabat, semoga seluruh pengabdianmu diberi imbalan oleh Allah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *