KONI Ikut Serta Bahas Kepemimpinan Berwawasan Kebangsaan
Kepemimpinan Berwawasan Kebangsaan Indonesia (KBKI) menggelar seminar nasional pada 15 Januari 2020. Balai Kartini menjadi saksi bisu seminar kebangsaan tersebut.
Tema seminar yakni “Peran Strategis 4 Pilar: Pemerintah, Perguruan Tinggi, Pelaku Usaha, dan Tokoh Nasional dalam Mendorong Lahir Pemimpin Berwawasan Kebangsaan”.
Acara diselenggarakan oleh Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia dan Intipesan terdiri dari beberapa sesi. Salah satu sesi berjudul “Role Model Kepemimpinan Berbasis Wawasan Kebangsaan”. Pembicara pada sesi tersebut antara lain adalah Ketua Umum Komite Nasional Olahraga Indonesia (KONI) Pusat Letjen TNI (Purn) Marciano Norman, Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Dr. Laksana Tri Handoko dan anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Dr. Yudi Latief.
Prof. Dr. Laksana menjadi pembicara pertama pada sesi ini. Ia menjelaskan bahwa pemimpin harus memiliki beberapa kriteria antara lain, Pemimpin harus memiliki beberapa kriteria, Bermanfaat, Fokus pada manfaat, Rendah hati, Belajar dan pembelajar, Bermental kaya, Nothing to loose dan Pengambil keputusan.
Pemimpin harus memberikan contoh/role model yang baik dalam organisasi. Dalam memberikan contoh baik dibutuhkan perubahan kebiasaan yang mana bukan hal mudah. Prof. Laksana sampaikan tugas utama pemimpin adalah mengambil serta eksekusi keputusan terbaik. Kemampuan melakukan hal tersebut dilatih dari pembelajaran & logika sederhana.
Pembicara kedua yakni Ketum KONI Pusat, Marciano Norman sampaikan materi berdasarkan kombinasi teori, pengalaman dan harapan pemimpin Indonesia ideal. Menurutnya, seorang pemimpin di Indonesia harus dapat menjaga kedaulatan, kesatuan, martabat dan sumber daya bangsa. Mengingat Indonesia yang besar dan majemuk masyarakatnya, maka masalah yang dihadapi belum tentu memiliki solusi yang sama satu sama lainnya.
Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) periode 2011-2015 ini ingatkan agar seseorang pemimpin harus dapat atasi gangguan yang paling berat. Kemampuan mengendalikan diri merupakan gangguan paling berat yang dimaksud. Ketika seseorang tak mampu mengendalikan diri maka ia akan berpikir bahwa dengan kedudukan tinggi dapat berbuat segalanya dan tidak ada yang mampu menghalangi.
Oleh karenanya, seorang pemimpin harus sadar akan batasan yakni aturan dan norma yang berlaku. Ketua KONI Pusat berpendapat bahwa seorang pemimpin perlu menjadi tauladan dengan mentaati aturan dan norma yang disepakati. Tauladan akan memberikan inspirasi bagi mereka yang dipimpin.
Ketua KONI Pusat juga ingatkan agar pemimpin tidak bermental “Asal Bapak Senang”. Kinerja perlu diutamakan dalam mengupayakan hasil yang maksimal. Dalam memimpin 34 KONI Daerah, 514 KONI tingkat Kabupaten/Kota dan 64 cabang olahraga, diperlukan komunikasi yang baik. Rangkaian kebijakan yang mengedepankan komunikasi yang baik diharapkan dapat mendengar aspirasi. Laporan yang diberikan justru perlu diuji untuk menghindari sifat “Asal Bapak Senang”. Pemimpin tidak boleh segan lakukan pengecekan ulang untuk mengetahui kebenaran laporan.
Selain dapat mengendalikan diri dan menyerap aspirasi, Marciano sampaikan bahwa seorang pemimpin juga tidak boleh ‘kupingnya tipis’. Maksud ‘kupingnya tipis’ adalah langsung bereaksi atas laporan yang diterima. Pengecekan ulang kebenaran informasi perlu dilakukan, terlebih banyaknya hoax yang mudah beredar.
Pada akhir pembahasannya, Marciano mengajak untuk tingkakan kepedulian terhadap apa yang terjadi dan mendukung saudara-saudara kita yang melakukan hal baik. Marciano juga sampaikan pentingnya salah satu nilai yang sering didapatkan dari olahraga yakni tidak cepat puas. Dalam kepemimpinan dan kebangsaan, rasa tidak cepat puas juga dibutuhkan. “Jangan pernah berhenti dan pernah puas berbuat baik, sebagai perwujudan cinta kepada bangsa kita.”, ajaknya.
Pembicara terkahir, Dr.Yudi Latief jelaskan bahwa visi dan kepribadian perlu sinergi. Ia mengutip Bung Karno, “Pemimpin perlu melenting namun tidak patah”. Seorang pemimpin perlu mengejar visi utama namun juga menyesuaikan dengan konteks yang berlangsung. Terkadang ada jenis pemimpin yang kaku terhadap visi namun ada juga yang terlalu pragmatis pada kontes sehingga lupa visi. Keduanya perlu digabung.
Yudi menambahkan pemimpin perlu memiliki konektivitas dan integritas. Keduanya perlu diikat dengan ikatan moral, yakni nilai bersama yang diakui seluruh orang. Selain itu, menurutnya seorang pemimpin perlu sederhanakan masalah kompleks yang terjadi.